Jumat, 06 Maret 2015

Profil Diri

PROFIL DIRI SAYA

Hallo, Perkenalkan nama saya Endik Putra Heri Cahyanto, teman-teman biasa memanggil saya Endik. Saya lahir di Sleman pada tanggal 14 April 1997, saya adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Saya tinggal bersama kedua orangtua dan adik saya di Kregolan RT.01/RW.13 Margomulyo Seyegan Sleman. Alhamdulillah saya beragama Islam, saya mempunyai golongan darah B .
Umur saya saat ini 17 tahun dan saya sekarang bersekolah di SMK N 3 Yogyakarta yang beralamat di Jalan RW Monginsidi 2 Jetis Yogyakarta. Saya memilih jurusan Teknik Pemesinan, karena menurut saya jurusan ini merupakan salah satu jurusan yang nantinya jika lulus peluang kerjanya paling besar. Saya memiliki teman sekolah yang sangat asyik, sehingga rasanya ingin terus masuk sekolah dengan mereka. Selain itu saya memiliki hobi menggambar di tembok-tembok pinggir yang biasa di sebut graffiti . Saya menekuni graffiti sejak tahun 2012 dan saya mengambil nickname (inisial) MAKER , saya merasa senang dengan hobi saya tersebut karena graffiti merupakan seni . Apabila saya merasa stres dengan banyaknya tugas sekolah saya merefresh otak saya dengan menggambar, karena dengan menggambar beban pikiran tidak terlalu berat.

Jumat, 27 Februari 2015

Karakter Dan Watak Para Tokoh Pewayangan

Mengenal Karakter Dan Watak Para Tokoh Pewayangan

DUNIA pewayangan (wayang kulit) melalui tokoh-tokohnya sebenarnya memuat banyak simbol dan karakteristik watak manusia. Sejumlah tokoh pewayangan dengan jelas juga merupakan simbol karakteristik pria. Seperti tokoh Arjuna, pria lambang ketampanan, Yudhistira suka perdamaian, Bima adalah pria yang mahal dalam cinta dan tidak gampang tertarik terhadap perempuan.
 

Berikut adalah beberapa watak dari sejumlah tokoh pewayangan, yang sering dijadikan simbol watak pria, yang disarikan dari pedalangan gagrak Yogyakarta maupun Surakarta.

1. Yudhistira (Sang Ludira Seta)
Yudhistira termasuk putra sulung Pandawa, putra dari Dewi Kunthi. Ketika mudanya bernama Puntadewa, raja Amarta. Puntadewa juga terkenal dengan sebutan gelar Sang Ludira Seta yang artinya berdarah putih. Ini melambangkan pria yang tulus ikhlas dalam berbagai hal. Bahkan dalam satu cerita, Puntadewa rela memberikan isteri tercintanya ketika diminta oleh orang lain yang sangat mengagumi dan mencintainya. Yudhistira adalah lambang dari pria yang teguh hati, penyabar dan suka perdamaian. Sangat setia terhadap isteri, anak dan keluarganya. Yudhistira sangat benci terhadap permusuhan. Walaupun bermandi harta, Yudhistira menentang poligami, sehingga isterinya hanyalah satu, Dyah Ayu Drupadi. Ketika muda, Yudhistira gemar berbusana yang indah-indah, tetapi setelah tua dia justru berpenampilan sederhana.

2. Arjuna (Lananging Jagad) 
Nama Arjuna konon berasal dari kata Jun yang bermakna jambangan. Konon, nama Janaka juga berasal dari Bahasa Arab Jannah yang berarti sorga. Kedua kata tersebut mengandung makna hening atau keheningan. Arjuna memiliki sifat dan watak fitrah, murni. Tak sedikit wanita yang kasmaran kepadanya. Wujud ketampanan Sang Arjuna adalah lambang kehalusan serta keagungan budi seorang pria. Arjuna juga dikenal menyukai sesuatu yang bersifat estetis, asri, sangat sensitif jiwanya, dan lembut hatinya. Sang Arjuna sulit mengucap kata ‘tidak’ dan kata ‘jangan’, khususnya terhadap kaum wanita. Di situlah kelemahan Sang Arjuna, maka tak sedikit wanita yang sangat merindukannya, walau mereka telah bersuami.

3. Kresna (Politikus) 
Ketika muda, Kresna bernama Narayana. Ia kemudian menjadi raja di Dwarawati. Meskipun secara fisik pria ini berkulit hitam, berdarah hitam dan berdaging hitam, tetapi Kresna tidak ‘hitam’ ulahnya. Kresna adalah lambang pria yang ramah, mudah bergaul, supel, banyak kawan, dan suka bercanda (humor). Ketika memberi fatwa, ia menggunakan berbagai sindiran yang begitu lembut, sehingga yang dinasihati tidak merasa sakit hati. Kresna banyak didatangi sahabat tua-muda dan pria-wanita, untuk sharing atau konsultasi. Umumnya, sepulang dari konsultasi dari Dwarawati, para ‘relasi’ Kresna pulang dengan menggenggam semangat. Kresna memang terkenal sangat strategis dalam menghadapi keluhan para ‘klien’-nya. Kresna memiliki karier yang sulit ditandingi, terlebih di bidang politik. Di mata sesamanya, Kresna memiliki wibawa yang sangat tinggi dan pengaruh yang luar biasa. Dedikasi dan loyalitasnya sangat oke, karena itulah semua anak buah Kresna patuh kepadanya. Dalam rumah tangga, Kresna tidak mengecewakan. Walaupun beristeri tiga orang, Kresna sangat adil. Nasihat yang terkenal dari Kresna kepada para isterinya ialah, agar mereka mengedepankan rasa kemanusiaan dan mengesampingkan busana glamour.

4. Drestharastra (Gagal Membina Isteri) 
Drestharastra adalah saudara tua dari keluarga Pandawa, bibit darah Pandawa. Ketika Pandhu mangkat, singgasana kerajaan diambil alih oleh Drestharastra, sehingga Pandawa Lima tersingkir. Sebenarnya, Drestharastra memiliki watak agung budi, sabar dan suka mengalah. Tetapi karena terbawa oleh watak isteri tercintanya yang bengis dan ambisius, yang bernama Gandari, maka watak yang sabar, dan suka mengalah tersebut justru dimanfaatkan oleh Sang Gandari, untuk menyetir sang suami, agar sang suami mengikuti seluruh kehendaknya. Drestharastra bisa digambarkan sebagai lambang suami yang terkalahkan dan disetir sang isteri. Maka tidak mustahil jika watak Drestharastra, belakangan berubah. Tak mustahil pula kalau orang-orang yang bekerja pada Drestharastra, jarang yang betah lama, karena Gandari menganggap hina setiap orang yang menghamba kepada Drestharastra. Demikian juga kepada keluarga sang suami. Drestharastra sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Gandari memang cantik, tetapi ia berwatak iri, dengki, semena-mena, dan mudah terhasut. Semua perwatakan itu sangat mempengaruhi watak Drestharastra. Bahkan anak-anak Drestharastra yang berjumlah 100 orang, tak ada satupun yang bisa dijadikan teladan.

5. Bima (Si Mahal Cinta)
Keperkasaan pria bernama Bima tentu sudah tidak diragukan lagi. Watak Bima memang sangat jauh dari watak angkuh dan sombong, walau dikaruniai kekuatan yang luar biasa. Bima sangat tinggi rasa sayangnya terhadap orang tua dan saudara. Bima juga terkenal jujur kalau berbicara, bahkan tidak pernah berbohong. Namun Bima kurang suka sesuatu yang bersifat formal. Sang Bima selalu bersikap teguh memegang prisip, tidak gampang terhasut atau dipengaruhi dengan apapun, walau si penghasut mempergunakan berbagai jurus dan cara. Bima juga memiliki tenggang rasa yang sangat dalam terhadap siapapun, sehingga ia akan serta-merta memberi pertolongan kepada siapapun yang sedang dilanda musibah dan kesusahan. Ia juga sangat kuat berpegang pada sariat agama dan paugeran kenegaraan. Bima adalah sosok patriotis yang selalu setia kepada lingkungannya dan negerinya sendiri. Dalam komunikasi sosial, Bima dikenal sangat menghormati kaum wanita. Bima juga bukan tipe pria ‘mata keranjang’. Ketika dia tertarik dan memperisteri Dewi Arimbi, semata-mata ia tertarik pada keluhuran budi dan keagungan sang Dyah Ayu.

6. Durna (Paranormal Pengeruk Keuntungan) 
Ketika mudanya, Durna bernama Bambang Kumbayana. Waktu itu Resi Durna begitu tampan dan ganteng. Bambang Kumbayana selalu berbusana mewah, sehingga penampilannya sangat meyakinkan. Tetapi karena wataknya yang hadigang-hadigung, maka wajahnya berubah menjadi tidak karuwan setelah dihajar habis-habisan oleh musuhnya. Resi Durna memang selalu berkostum jubah paranormal (Jw: Pandhita), tetapi perilakunya sangat nista dan hina. Durna dikenal dengan watak ‘bermuka dua’. Pria yang tidak berpendirian kuat dan penuh prasangka buruk, walau ia mengklaim dirinya sebagai ‘paranormal’. Durna juga dikenal sangat suka mendatangi para muridnya, karena di sana akan dihormati oleh murid-murid dan keluarganya. Semua kebutuhannya disediakan, bahkan kadang ia minta dijemput oleh para Korawa. Di balik jubahnya itu, Durna justru tega memanfaatkan setiap orang yang minta pertolongan, untuk kepentingan Durna sendiri. Bahkan ia tega memanfaatkan kesusahan ‘klien’-nya untuk kesenangan pribadi Durna sendiri. Meskipun demikian Durna sering bercerita tentang keberhasilannya dalam menolong sesama, sehingga para tamunya terbius oleh bujukannya. Ia madeg sebagai paranormal, memang hanya untuk mengeruk keuntungan. Namun resminya, Durna adalah penasihat spiritual Astina dan Pandawa.

7. Semar (Pembantu Bijaksana) 
Jika pembaca adalah wanita, dan bersuamikan seorang pria yang sangat pandai mengasuh dan amat bijaksana, itu berarti tak jauh berbeda dengan karakteristik Sang Semar. Walau hanya seorang punakawan, sebenarnya Semar adalah turunan dari bangsawan, bahkan saudara Sang Hyang Guru Nata (dewa dari seluruh dewa) di Kahyangan. Walaupun Semar dikenal sebagai orang papa, ia memiliki insting yang sangat tajam, intuitif, dan memiliki watak kedewaan. Semar senantiasa adil dan bijak dalam memutuskan setiap masalah atau perkara. Bila diperintah menumpas keangkaramurkaan, Semar akan memperlihatkan kesejatian dirinya. Akan tetapi dalam keseharian, Semar selalu berpenampilan sebagai sosok titah sawantah belaka. Isteri Semar adalah Dewi Kanistri, yang selalu ditinggal pergi karena panggilan tugas mulia sang suami dalam menghamba kepada pemimpin dan bangsanya. Kehidupan keluarga Semar lebih mengedepankan lakutama daripada gemerlap duniawi.

8. Baladewa (Mudah Marah, Mudah Memaafkan) 
Waktu mudanya, Baladewa bernama Raden Kakrasana, kakak Prabu Kresna. Baladewa berkulit putih kemerahan seperti turis (bule). Ia adalah lambang pria yang suka bersemedi, suka pati raga dan tirakat. Ia lebih banyak berkecimpung di dalam dunia ilmu ghaib. Waktu yang lain dimanfaatkan untuk berkiprah di bidang olah kaprajan, juga menempa strategi berperang. Baladewa memiliki watak sangat menyayangi keluarganya, terlebih kepada saudara perempuannya, Dyah Ayu Sembadra. Kemanapun pergi, Sembadra senantiasa dalam pengawalan Baladewa. Karakter yang menonjol dari Baladewa adalah mudah marah tapi juga mudah memberi maaf kembali. Hubungan kekeluargaan dengan Pandawa memang sedikit renggang, karena Baladewa banyak bermukim di Astina. Tetapi Baladewa juga serta-merta hijrah dari Astina, setelah mengetahui bahwa keluarga Astina telah melenceng dari kesepakatan dan pesan para leluhur. Baladewa bisa dilambangkan sebagai gambaran sosok pria yang setiap bertindak selalu serampangan, tanpa dipikir panjang terlebih dahulu, akhirnya justru malu sendiri setelah ketahuan kekeliruannya. Kelebihan lain dari Baladewa adalah berani mengakui secara jantan atas kekeliruan dan kekhilafannya.

mahadirga kendinar   di 22.54

Sejarah Wayang Kulit

Sejarah Wayang Kulit

WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Gambar di atas adalah Adipati Karna. Untuk informasi tentang Adipati Karna, silakan lihat disini.
Asal Usul Wayang Kulit
Ada dua pendapat mengenai asal – usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa­yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.